Rabu, 30 Oktober 2013

Tragedi yang Mengetuk Hati



Tragedi yang Mengetuk Hati
Cermin kesungguhan beribadah, jadi sarana turunnya hidayah
Ini resiko menjadi anggota tim medis pada acara olahraga. Tak boleh meninggalkan tempat bertugas selama event berlangsung. Terpaksa, untuk shalat pun kami harus bergantian.
            Saya minta izin untuk melaksanakan shalat lebih dulu, sebelum yang lain. Tempat shalat telah disediakan panitia. Cuma keadaannya memprihatinkan. Bahkan tak pantas menjadi sarana menghadap Sang Khaliq. Sangat kotor, alasnya pun hanya koran.
            Tak sampai hati saya shalat di tempat seperti ini. Saya kemudian menemui panitia dan meminta izin untuk dapat melaksanakan shalat di ruang panitia yang keadaannya jauh lebih baik. Permintaan saya pun diluluskan.
            Sedikit lega hati saya karena berharap dapat tempat yang “layak”. Di tempat panitia ada beberapa orang yang tidak saya kenal. Saya pun minta permisi utuk melaksanakan shalat di tempat itu.
            Betapa terkejutnya saya, ternyata mereka meminta saya shalat di ruang yang sudah disediakan, yang kotor dan hanya beralaskan koran itu. Saya berusaha mengeluarkan argument, namun mereka malah member saya tumpukkan koran sebagai alas tambahan.
Hati ini rasanya seperti di hunjam berjuta-juta belati. Sakiiittt sekali!
            Kemudian terlintas di pikiran saya untuk numpang shalat di ruang wasit yang keadaannya juga lumayan, terletak pas di samping ruang shalat yang kumuh itu. Saya pun permisi. Awalnya jawaban yang mampir di telinga nyaris sama dengan kejadian sebelumnya. Tapi, ketika orang-orang di ruangan wasit mendengar penjelasan saya yang diselingi isak tangis, akhirnya mereka ikhlas mempersilakan saya untuk shalat. Mereka bahkam meminjamkan sajadah, yang kebetulan saya tidak membawa. Mereka juga membantu merapikan tempat shalat.
            Selama shalat, saya masih belum bisa menenangkan diri dari isak tangis. Ketika itu saya hanya merasa betapa lemahnya diri ini karena tidak bisa mempersembahkan yang terbaik untuk menghadap Rabb.
            Beberapa hari setelah kejadian itu, ada teman yang member tahu bahwa peristiwa yang menimpa saya waktu itu membawa hikmah yang begitu besar bagi kehidupan seseorang. Begini ceritanya.
Seingat saya, tragedy shalat itu memang sempat menarik perhatian salah satu wasit yang menolong saya. Dia seorang wanita. Tidak disangka kalau hal itu benar-benar menjadi suatu pelajaran berharga bagi dirinya.
            Waktu itu, kabarnya dia mengamati gerak-gerik saya saat shalat sambil menangis. Dari situlah kemudian dia tersadar bahwa sesungguhnya shalat itu bukan hanya kewajiban, lebih dari itu, sebuah kebutuhan. Ya, kebutuhan kita atas Dzat yang menciptakan kita.
            Sejak saat itu, kehidupan wanita itu menjadi berubah. Jika sebelumnya dia selalu menunda-nunda shalat, sekarang menjadi lebih rajin dan tepat waktu. Jika sebelumnya tidak pernah membawa mukena ketika sedang bertugas, maka setelah hari itu dia selalu mempersiapkan mukena untuk shalat.
            Teman saya juga menceritakan, kalau dia begitu bahagia dengan perubahannya. Karena begitu bahagianya, ia menceritakan kejadian itu pada teman-temannya.
            Kata teman saya itu, dia mencari-cari saya dan ingin mengucapkan terima kasih. Dia juga menitipkan salam untuk saya.
            Saya mengatakan bahwa hidayah itu datangnya kapan saja, oleh siapa saja yang dikehendaki Allah, dan bisa lewat perantara apa saja. Perubahan yang terjadi pada dirinya itu adalah mutlak karena izin Allah. Saya hanya perantara yang dipercaya oleh Allah untuk menyampaikan hidayah itu.
            Ibadah itu berat, tetapi jika kita niatkan pada niat yang tulus ikhlas hanya untuk mencari ridha-Nya, akan terasa sangat manis. Semoga kita selalu diberi kekuatan agar terus bisa berjalan di Jalan Allah SWT. Amiin. * Ani

Sumber : Pengalaman Teman

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More