Tragedi yang Mengetuk Hati
Cermin kesungguhan beribadah,
jadi sarana turunnya hidayah
Ini resiko menjadi anggota tim medis pada
acara olahraga. Tak boleh meninggalkan tempat bertugas selama event
berlangsung. Terpaksa, untuk shalat pun kami harus bergantian.
Saya
minta izin untuk melaksanakan shalat lebih dulu, sebelum yang lain. Tempat
shalat telah disediakan panitia. Cuma keadaannya memprihatinkan. Bahkan tak
pantas menjadi sarana menghadap Sang Khaliq. Sangat kotor, alasnya pun hanya
koran.
Tak
sampai hati saya shalat di tempat seperti ini. Saya kemudian menemui panitia
dan meminta izin untuk dapat melaksanakan shalat di ruang panitia yang
keadaannya jauh lebih baik. Permintaan saya pun diluluskan.
Sedikit
lega hati saya karena berharap dapat tempat yang “layak”. Di tempat panitia ada
beberapa orang yang tidak saya kenal. Saya pun minta permisi utuk melaksanakan
shalat di tempat itu.
Betapa
terkejutnya saya, ternyata mereka meminta saya shalat di ruang yang sudah
disediakan, yang kotor dan hanya beralaskan koran itu. Saya berusaha
mengeluarkan argument, namun mereka malah member saya tumpukkan koran sebagai
alas tambahan.
Hati ini rasanya
seperti di hunjam berjuta-juta belati. Sakiiittt sekali!
Kemudian
terlintas di pikiran saya untuk numpang shalat di ruang wasit yang keadaannya
juga lumayan, terletak pas di samping ruang shalat yang kumuh itu. Saya pun
permisi. Awalnya jawaban yang mampir di telinga nyaris sama dengan kejadian
sebelumnya. Tapi, ketika orang-orang di ruangan wasit mendengar penjelasan saya
yang diselingi isak tangis, akhirnya mereka ikhlas mempersilakan saya untuk
shalat. Mereka bahkam meminjamkan sajadah, yang kebetulan saya tidak membawa.
Mereka juga membantu merapikan tempat shalat.
Selama
shalat, saya masih belum bisa menenangkan diri dari isak tangis. Ketika itu
saya hanya merasa betapa lemahnya diri ini karena tidak bisa mempersembahkan
yang terbaik untuk menghadap Rabb.
Beberapa
hari setelah kejadian itu, ada teman yang member tahu bahwa peristiwa yang
menimpa saya waktu itu membawa hikmah yang begitu besar bagi kehidupan
seseorang. Begini ceritanya.
Seingat saya, tragedy shalat itu memang sempat
menarik perhatian salah satu wasit yang menolong saya. Dia seorang wanita.
Tidak disangka kalau hal itu benar-benar menjadi suatu pelajaran berharga bagi
dirinya.
Waktu
itu, kabarnya dia mengamati gerak-gerik saya saat shalat sambil menangis. Dari
situlah kemudian dia tersadar bahwa sesungguhnya shalat itu bukan hanya
kewajiban, lebih dari itu, sebuah kebutuhan. Ya, kebutuhan kita atas Dzat yang
menciptakan kita.
Sejak
saat itu, kehidupan wanita itu menjadi berubah. Jika sebelumnya dia selalu
menunda-nunda shalat, sekarang menjadi lebih rajin dan tepat waktu. Jika
sebelumnya tidak pernah membawa mukena ketika sedang bertugas, maka setelah
hari itu dia selalu mempersiapkan mukena untuk shalat.
Teman
saya juga menceritakan, kalau dia begitu bahagia dengan perubahannya. Karena
begitu bahagianya, ia menceritakan kejadian itu pada teman-temannya.
Kata
teman saya itu, dia mencari-cari saya dan ingin mengucapkan terima kasih. Dia
juga menitipkan salam untuk saya.
Saya
mengatakan bahwa hidayah itu datangnya kapan saja, oleh siapa saja yang
dikehendaki Allah, dan bisa lewat perantara apa saja. Perubahan yang terjadi
pada dirinya itu adalah mutlak karena izin Allah. Saya hanya perantara yang
dipercaya oleh Allah untuk menyampaikan hidayah itu.
Ibadah
itu berat, tetapi jika kita niatkan pada niat yang tulus ikhlas hanya untuk
mencari ridha-Nya, akan terasa sangat manis. Semoga kita selalu diberi kekuatan
agar terus bisa berjalan di Jalan Allah SWT. Amiin. * Ani
Sumber : Pengalaman Teman