KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri atau Kerajaan
Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur
antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang
terletak di sekitar Kota Kediri sekarang.
.
Berdirinya Kerajaan Kediri
Sejarah
Awal
Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula
disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri
Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama
Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama
Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya
bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa. Airlangga
memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah
mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).
Menurut Prasasti Pucangan, pada
tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara
Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba
kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan
sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu,
Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri)
ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun,
dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga
sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa
Timur.
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga
pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan.
Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang
pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga
didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan
Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru
bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.
Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).
Menurut Prasasti Terep (1032),
Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa
Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah
ke Kahuripan
(daerah Sidoarjo sekarang).
Menurut Prasasti Pamwatan (1042),
pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini
sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga
sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja
Panjalu yang berpusat di Daha.
Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009,
wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo
dan Pasuruan
saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan
diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau
Jawa.
Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang
merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat
Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa.
Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun
1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja
Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.
Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba
membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa
dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari
daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas
dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani
Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita
itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu
Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir,
pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang
pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun
kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai
mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan
yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
- Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
- Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
- Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
- Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian
terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha
yang diadaptasi dari epik Mahabharata.
Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai
kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta
menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga
Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun
yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut
gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka
Catraning Bhuwana. Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak
menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama
asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang
(1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga
kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan
salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke
Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah menunjukkan Udayana
digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata
kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga terpaksa membagi dua wilayah
kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan
timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang,
Nagarakretagama, dan Prasasti
Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat
disebut Panjalu atau Kadiri
berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan
kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah
oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November
1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24
November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian,
peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal
tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059)
peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku
dimakamkan di tirtha atau pemandian.
Kolam pemandian yang paling sesuai
dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng
Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua
dewi. Berdasarkan Prasasti
Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang
taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga
dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada
Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah
tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi
pemandian tersebut.
Maharaja Jayabhaya
adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar
lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara
Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan
Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa
prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144),
serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga
disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya
Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah
untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan
Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja
yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa
atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh tahun 1157.
Kerajaan Kadiri atau Kerajaan
Panjalu adalah Kerajaan yang terletak di Jawa Timur antara tahun 1042-1222.
Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri
sekarang. Pada tahun 1042, Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan
menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana
yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut
dikenal dengan sebutan Jenggala dan Panjalu, yang dibatasi oleh gunung Kawi dan
sungai Brantas. Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi
pertikaian diantara kedua putranya. Pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi
Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti
Mahaksubya (1289M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab
Calon Arang (1540 M).
Begitu Raja Airlangga wafat, terjadilah
peperangan antara kedua bersaudara tersebut. Panjalu dapat dikuasai Jenggala
dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti
Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha
2.
Sumber-Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Kediri berasal
dari beberapa prasasti dan berita asing sebagai berikut.
Prasasti
Prasasti Sirah Keting (1104 M), yang memuat tentang pemberian hadiah tanah
kepada rakyat desa oleh Raja Jayawarsa.
Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan,
diperkirakan berasal dari Raja Bameswara (1117-1130 M).
Prasasti Ngantang (1135 M), yang menyebutkan tentang Raja Jayabaya yang
memberikan hadiah kepada rakyat Desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari
pajak.
Prasasti Jaring (1181 M) dari Raja Gandra yang memuat tentang sejumlah
nama-nama hewan seperti Kebo Waruga dan Tikus finada.
Prasasti Kamulan (1194 M), yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja
Kertajaya, Kerajaan Kediri telah berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi
istana di Katang-katang.
Berita
Asing
Berita asing tentang Kerajaan Kediri
sebagian besar diperoleh dari berita Cina. Berita Cina ini merupakan kumpulan
cerita dari para pedagang Cina yang melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan
Kediri. Seperti Kronik Cina bernama Chu fan Chi karangan Chu ju kua (1220 M). Buku
ini banyak mengambil cerita dari buku Ling wai tai ta (1778 M) karangan Chu ik
fei. Kedua buku ini menerangkan keadaan Kerajaan Kediri pada abad ke-12 dan
ke-13M.
Masa kejayaan Kediri dapat dikatakan
jelas, terbukti dengan ditemukannya silsilah raja-raja yang pernah memerintah
kerajaan Kediri. Disamping itu, ditemukannya prasasti-prasasti dari raja-raja
yang pernah memeritah.
Raja-Raja yang Pernah
Memerintah Kediri
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah
di Daha, ibu kota Kadiri:
1. Pada saat Daha
menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan.
Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha
kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama,
kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu.
2. Pada saat Daha
menjadi ibu kota Panjalu
- Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
- Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
- Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
- Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
- Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
- Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
- Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
- Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
- Sri Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
3. Pada saat Daha
menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi
bawahan Singhasari.
Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui
raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
- Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
- Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
- Tohjaya kakak Guningbhaya
- Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
4. Pada saat Daha
menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya
yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan
runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang
kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya
pendiri Majapahit.
5. Pada saat Daha
menjadi bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit
yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat
simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang
pernah menjabat ialah:
1.
Jayanagara
1295-1309 Nagarakretagama.47:2;
Prasasti Sukamerta -
didampingi Patih Lembu Sora.
2.
Rajadewi
1309-1375 Pararaton.27:15;
29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
5.
Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8;
31:34; 32:18; Waringin Pitu
6. Pada saat Daha
menjadi ibu kota Majapahit
Menurut Suma Oriental
tulisan Tome Pires,
pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit
yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah
Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan
Trenggana raja Demak tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih
terkenal dari pada Daha.
Penjelasan
lebih lanjut mengenai Raja-raja Kediri, yaitu :
Raja Sri Jayawarsa
Hanya dapat diketahui dari prasasti
Sirah Keting (1104 M). Pada masa pemerintahannya Raja Jayawarsa memberikan
hadiah kepada rakyatdesa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa
kepada Raja. Dari prasasti itu diketahui Raja Jayawarsa sangat besar
perhatiannya kepada masyarakat (rakyat) dan berupaya meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya.
Raja Bameswara (1117M)
Banyak meninggalkan Prasasti seperti
yang ditemukan didaerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang
ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan sehigga sangat baik
diketahui keadaan pemerintahannya.
Raja Jayabaya (1135-1157M)
Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan
ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan kediri didukung
oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Panuluh, Darmaja, Triguna dan
Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah
memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabaya,
Kerajaan kediri mencapai puncak peradaban terbukti dengan lahirnya kitab-kitab
hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam kakawin Baratayuda,
Gathutkacasraya, dan Hariwangsa yang hingga kini merupakan warisan ruhani
bermutu tinggi.
Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya
dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan (Gonda, 1925 : 111).
Kerajaan yang beribukota di Dahono Puro bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya
amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan
perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas.
Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein
dan bergizi selalu tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota
Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda
perekonomian berjalan lancar sehingga kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut
sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja.
Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 –
1157 M. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum
dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh
ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat
kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya
berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya.
Di samping sebagai raja besar. Raja
Jayabaya juga terkenal sebagai ahli nujum atau ahli ramal. Ramalan-ramalannya
dikumpulkan dalam sebuah kitab Jongko Joyoboyo.Dalam ramalannya, Raja Jayabaya
menyebutkan beberapa hal seperti ratu adil yang akan datang memerintah
Indonesia.
Raja Sri Saweswara (berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti
Kahyunan (1161)) dan Raja Sri Aryeswara (berdasarkan prasasti Angin (1171))
Masa pemerintahan kedua raja ini tidak
dapat diketahui, karena tidak ditemukan prasasti-prasasti yang
menyinggung masalah pemerintahan dari kedua raja tersebut.
Raja Sri Gandra
Masa pemerintahan Raja Gandra (1181 M)
dapat diketahui dari Prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam
kepangkatan seperti nama gajah, kebo dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan
tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
Raja Sri Kameswara (berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin
Smaradahana)
Pada masa pemerintahan Raja Kameswara
(1182-1185 M), seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di
antaranya Empu Dharmaja mengarang Smaradhana. Bahkan pada masa pernerintahannya
juga dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
- Raja Sri Kertajaya (1190-1222 M) ( berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.)
Merupakan raja terakhir dari Kerajaan
Kediri. Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan Dandang Gendis. Selama masa
pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya
mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh
kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta
bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini.
Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel.
Sementara itu. Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke
Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M). Dalam
pertempuran itu pasukan dari Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya
berhasil meloloskan diri (namun nasibnya tidak diketahui secara pasti).
Kekuasaan Kerajaan Kediri berakhir dan menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel.
1.
Keadaan Masyarakat
Perkembangan
Kediri
Masa-masa
awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang
II (1044) yang diterbitkan Kerajaan
Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua
kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah
Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104
atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa
hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui,
sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa
sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang
ditemukan.
Kerajaan
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya
berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang
terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu
Menang.
Pada
masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu
mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di
Nusantara,
bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal
ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta
karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan
adalah Arab,
Jawa, dan Sumatra.
Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani
Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra
dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan
Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang
diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu
memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
a.
Struktur Pemerintahan
Masa perkembangan kerajaan Kediri
hanya kira-kira satu abad. Dalam perubahan yang terjadi, terutama dibidang
struktur pemerintahan. Ini terbukti dari prasasti-prasasti masa Kediri
yang masih menyebut jabatan-jabatan yang sudah dikenal pada periode sebelumnya,
misalnya rakyan mahamantri i hino sebagai “orang kedua” sesudah raja.
Namun ada pula keterangan baru,
yaitu penyebutan Panglima Angkatan Laut (Senopati Sarwaja) dalam prasasti
Jaring. Meskipun tidak berarti pada masa sebelumnya tidak ada angkatan laut,
penyebut tersebut tentunya mepunyai makna khusus. Barang kali pada masa Kediri
ini peran angkatan lautan makin besar tidak saja sebagai penjaga keamanan
negara, tetapi juga mengamankan perdagangan inter-insuler maupun internasional.
Satu hal yang perlu dicatat adaalah
adanya aspek demokrasi yang memungkinkan rakyat mengajukan permohonan kepada
raja. Meskipun hal-hal seperti ini juga sudah dikenal pada masa sebelumnya,
sebagian besar prasasti Kediri permohonan rakyat kepada raja agar anugrah yang
sudah diterima dari raja sebelumnya dikukuhkan dalam prasasti batu, dan
ditambah lagi dengan anugrah raja yang sedang memerintah. Permohonan kepada
raja ini disampaikan kepada salah satu pejabat. Pada umumnya permohonan ini
dikabulkan oleh raja mengingat rakyat yang memohon tersebut sudah pernah
berjasa kepada raja atau menunjukkan kesetiaan terhadap raja.
Hal ini juga penting adanya samya
haji atau bawahan raja penguasa daerah dalam struktur kerajaan kediri.
Meskipun sudah dikenal sejak periode sebelum kediri, tampaknya samya haji pada
masa kediri cukup besar perannya dalam pemerintahan pusat kerajaan, sepertinya
yang disebutkan dalam prasasti Banjaran, samya Haji diBanjaran mendorong raja
janggala terusiruntuk merebut kembali tahtanya. Kemudian dengan bantuan samya
haji di Banjaran dan rakyatnya raja Janggala terusir untuk merebut kembali
tahtanya. Kemudian dengan bantuan Samya Haji di Banjaran dan rakyatnya raja
Janggala berhasil kembali memperoleh tahtanya.
b. Agama
Corak agama masa kediri dapat
disimpulkan dari peninggalan-peninggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah
kediri. Candi Gurah dan candi todo Wongso menunjukkan latar belakang agama
Hindu, khususnya Siwa, berdasarkan jenis-jenis arcanya. Petirtaan Kepung kemungkinan
besar juga bersifat Hindu karena tidak tampaknya unsur-unsur Budhisme pada
bangunan tersebut.
Beberapa prasasti menyebutkan nama abhiseka
raja yang berarti penjelmaan Wisnu. Akan tetapi, hal ini tidak langsung
membuktikan bahwa wisnuisme berkembang pada saat itu. Karena landasan filosofis
yang dikenal di Jawa pada masa itu selalu menganggap raja saa dengan dewa Wisnu
dalam hal sebagai pelindung rakyat dan dunia atau kerajaan.
Secara umum bahwa agama Hindu,
khususnya pemujaan kepada Siwa, mendominasi perkembangan agama pada masa
kediri. Hal ini tercermin dari temuan prasasti, arca-arca, maupun karya-karya
sastra Jawa Kuno yang berasal dari masa ini.
c. Kesenian
Perubahan bidang kesenian dari
zaman kediri dibatasi pada seni arsitektur saja. Dahulu orang selalu
memperetanyakan mengapa masa kediri tidak menghasilkan candi-candi seperti
periode sebelumnya atau sesudahnya, ternyata temuan kemudian satu demi satu.
Profil candi Gurah yang masih tersisa, mempunyai
pelipit sisi genta pada kaki candi perwara dan candi induknya mempunyai makara
pada ujung bawah tangga. Ciri-ciri ini menunjukkan gaya seni jawa tengah (abad
VII – X M). Akan tetapi, arca-arca yang sangat indah meunjukkan gaya seni
Singasari (abad XIII M). Pwrbedaan gaya seni ini belum dapat dijelaskan secara
memuaskan. Meskipun ada tanda-tanda bahwa candi Gurah pernah dibangun kembali
(diperbesar), tampaknya arca-arca tidak berasal dari tahapan kemudian apalagi
arca-arca yang lebih tua tidak pernah ditemukan.
Dari sumuran candi ditemukan bata
berinskripsi yang tulisannya dari segi paleografi beasal dari abad XI-XII M.
Inskripsi singkat ini dapat dipakai sebagai patokan untu menentukan
pertanggalan dan araca gurah. Soejmono menyebut candi Gurah ini sebagai mata
Rantai yang berada diantara seni Jwa Tengah dan Jawa timur.
Seperti candi Gurah, Cadi kepung dan tando wongso
juga meliliki ciri yang sama, yaitu pelipit sisi genta di candi Kepug dan
arca-arca Tondo Woso yang mirip arca Gurah. Diperlukan ketiga candi ini
berasal dari masa kediri abad ke XI-XII M.
d. Kesusastraaan
Masa kediri disebut masa keemasan
pada zaman Jawa Kuno, karena dari masa ini di hasilkan karya-karya sastra
terutama dalam bentuk kakawin, yag sangat penting dan bermutu tinggi
Dari masa kediri kita kenal beberapa orang pujangga
dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Pu sedah dan Pu Panuluh yang
bersama-sama mengubah kitab Bhatarayudha dalam masa pemerintahan raja Jaya
Bhaya, Pu Panuluh yang bersama-sma mengubah Kitab Ghatotkacasraya didalam masa
pemerintahan Raja Jaya Karta. Pu Dharmaja mengubah kitab Samaradahana dalam
masa pemerintahan raja kameswara, Pu Monaguna mengubah kitab Sumanasantaka dan
Pu Triguna mengubah kitab Krisnayana, kedua-duanya dalam masa pemerintahan Sri
warsa krisnayana. Masih ada lagi sebuah kitab yang berdasarkan pertimbangan
kebahasaan, gaya dan penggarapan pokok ceritanya. Sekalipun kurang meyakinkan
digolongkan kedalam karya satra dari zaman keidiri yaitu kitab bamontaka.
Dalam kitab sumasantaka dijumpai
keterangan penting, menyangkut tradisi yang berkenaan dengan Pitra Yajna
(upacara untuk orang tua). Tradisi tersebut pembuatan arca bagi raja widarba
dan permaisurinya sesudah meninggal, kedua diarcakan sebagai ardhanariswara,
arca ini ditempatkan disebuah candi dihalaman keraton. Tradisi ini belum
dikenal pada masa Jawa Tengah (abad VIII-X M).
Sayangnya karya sastra masa kediri ini masih banyak
perlu penelitian lagi karena sebagaian belum ditranskipsi dan diterjemahkan.
Karya Sastra dan Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya yaitu:
a. Prasasti
Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu
atau Kadiri atas Jenggala
b.
Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau
Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu
Jayati yang artinya Kadiri Menang.Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam
pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama
perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja
Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya
kembali dengan Kadiri.
Prasasti Jepun 1144 M
Prasasti
Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan
Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan
diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi
kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.
Seni
sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun
1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu
Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang
berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya
atas Janggala.
Selain
itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.
Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja
yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka
dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Di
samping kitab sastra maupun prasasti tersebut di atas, juga ditemukan berita
Cina yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan
pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina
tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh
Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua
tahun 1225 M. Dengan demikian melalui prasasti, kitab sastra maupun kitab yang
ditulis orang-orang Cina tersebut perkembangan Kediri
e. Ekonomi
Catatan para pedagang cina yang
mengumpulkan menjadi kronik-kronik kerajaan, dengan jelas menyebutkan tentang
kehidupan rakyat kediri dalam bidang perekonomian seperti pertanian dan
perdagangan.
Untuk pertanian rakyat di kerajaan
kediri ini banyak yang menghasilkan beras, dan untuk perdagangan antara lain
yang laku dipasaran pada masa itu adalah emas, perak, daging, kayu cendana,
pinang dan lain-lain.
Pajak yang dihasilkan berupa hasil
bumi, telah mengenal sistem pertukaran dengan uang emas atau perak. Letak
kediri juga sangat strategis karena diantara Indonesia timur dan Indonesia
Barat.
f. Sosial
Kehidupan sosial masyarakat Kediri cukup baik karena
kesejahteraan rakyat meningkat masyarakat hidup tenang, hal ini terlihat dari
rumah-rumah rakyatnya yang baik, bersih, dan rapi, dan berlantai ubin yang
berwarna kuning, dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai
di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni
dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra.
Hal ini terlihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai
sekarang.
Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan
pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu
seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis Mpu Panuluh
pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab
Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana
karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna.
Semuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang
diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu
memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno
peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu
tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur
Muka atau bermuka empat.
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri
dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh
Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa
masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai.
Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin
yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan
rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan
yang cukup pesat.
Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan:
1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan),
yaitu
masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum
kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2. Golongan masyarakat thani (daerah),
yaitu
golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di
wilayah thani (daerah).
3. Golongan masyarakat non pemerintah,
yaitu
golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan
pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta. Kediri memiliki 300 lebih
pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di
samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan
parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.
Kerajaan Kediri lahir dari pembagian Kerajaan Mataram
oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dilakukan agar tidak
terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Tidak ada bukti yang jelas
bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad
disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam
perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu)
dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama,
yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga
sebagai Kerajaan Kediri.
g. Perkembangan politik kerajaan Kediri
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji
Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri
Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala
dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai
kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M)
dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke
Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja
Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di
atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala.
Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa
pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala.
Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang
Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan,
setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat
pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang
Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga
memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan
Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan
seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir
dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih
pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara,
Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota
Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya
tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana
Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai
sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang
lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan
berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun
perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali
dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri
Faktor Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahan
Kertajaya, dan dikisahkan
dalam Pararaton
dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang
berselisih melawan kaum brahmana,
perselisihan ini terjadi karena Raja Kertajaya memerintahakan kaum brahmana
untuk menyembah dia sebagai raja, namun para kaum Brahmana menolak yang
kemudian meminta perlindungan Ken Arok
akuwu Tumapel.
Kebetulan Ken Arok
juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri. Perang antara
Kadiri dan Tumapel
terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil
menghancurkan pasukan Kertajaya.
Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian
menjadi bawahan Tumapel
atau Singhasari.
Setelah Ken Arok mengangkat
Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singhasari. Ken Arok
mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258
Jayasabha digantikan putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya
digantikan putranya, yaitu Jayakatwang.
Jayakatwang memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara,
karena dendam masa lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok.
Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan
Kadiri, namun hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang
dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu
Kertanegara, Raden Wijaya.
KERAJAAN SINGOSARI
Kerajaan
Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang didirikan oleh
Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan di daerah
Singosari, Malang.
Kerajaan
Singasari hanya sempat bertahan 70 tahun sebelum mengalami
keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di Tumapel yang terletak di kawasan
bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang
berada dibawah kekuasaan Kerajaan Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung.
Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok yang merupakan pengawalnya.
Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
A. SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.
Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
A. SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.
1. Ken Arok (1222–1227 M)
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.
2. Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.
2. Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
3. Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.
4. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.
5. Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa,dengan tujuan untuk menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri) menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
B. KEHIDUPAN DI KERAJAAN SINGASARI
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
Politik
Dalam Negeri:
1.
Mengadakan pergeseran
pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani, dll.
2.
Berbuat baik terhadap lawan-lawan
politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama
Ardharaja menjadi menantunya.
3.
Memperkuat angkatan perang.
Politik Luar Negeri:
1.
Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai
Kerajaan melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
2.
Menguasai Bali.
3.
Menguasai Jawa Barat.
4.
Menguasai Malaka dan Kalimantan.
Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambing kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung Joko Dolog maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana).
C. RUNTUHNYA KERAJAAN SINGASARI
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.