Selasa, 05 November 2013

Teror Subuh di Kanigoro ( I )


Kehusyukan yang Terganggu


Teror Subuh di Kanigoro

Pagi itu, 13 Januari 1965 tepat pada awal Ramadhan 1385 H, udara Desa Kanigoro dingin sekali. Kabut tipis mengendap-endap di kaki bukit, mengentalkan embun di ujung dedaunan dan rerumputan. Di sebuah pesantren, di desa itu, di dalam wilayah Kecamatan Keras, Kediri, para peserta mental training Pelajar Islam Indonesia (PII) bersama beberapa warga masyarakat setempat sedang menjalankan shalat subuh di masjid.
Karena agak kelelahan, saya dan beberapa teman bersembahyang di asrama. Dingin udara dan air wudlu yang menggigilkan tubuh tak mengurangi kekhusyukan salat kami. Namun, tiba-tiba keheningan udara dipecahkan oleh suara tembakan “dor! dor! dor!” Ketika saya sedang dalam posisi duduk tasyahud, tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras. Pintu kamar saya didobrak, diiringi teiakan-teriakan “Bunuuuh! Bunuuuh! Ganyanggg!”
Saya membaca shalawat dan salam. Salatpun selesai, dan sebuah tendangan menghantam punggung saya. “Bangun, ayo! Bangun!” Beberapa orang berpakaian lusuh dan bersenjata tajam menangkap saya. Saya sempat melihat, salah seorang diantara merekan mengambil Al-Quran, merobek-robeknya, membantingnya ke lantai, dan menginjak-injaknya sambil berteriak, “Iki sing marakne gudiken!” (ini yang menyebabkan penyakit gudik, Red.) Saya pun diseret ke luar ruangan.

Cuaca di luar masih remang-remang. Tampak massa begitu banyak, senjata-snjata berkilatan di antara mereka. Sebagian di antara mereka mengikat dan menggirin teman-teman saya sambil meneriakkan yel-yel “Bunuh! Ganyang! Hidup PKI! Hidup BTI! Balas peristiwa Madiun! (Pemberontakan PKI Madiun, 1948, Red.) Ganyang antek Nekolim! Ganyang antek Malaysia! Ganyang santri!” dengan suara gegap gempita, menakutkan.
Sesaat kemudian terdengar suara “kumpul! Kumpul!” Kamipun dikumpulkan di jalanan. Kedua tangan saya dipegang kuat-kuat dan senjata tajam menempel di leher dan tubuh saya. Seseorang menggiring saya sambil berteriak “Iki pimpinane!” (Ini pimpinannya). Lainnya pun menyahu, “Bunuh! Bunuh! Gorok! Balas Madiun!”
Saya digiring dengan ujung pedang yang menempel di leher saya, dingin sekali “Ayoi jalan!” bentak lelaki kurus yang menggiring saya. Saya sempat meliriknya. Wajahnya tampak angker dalam keremangan pagi. Dengan perasaan ngeri saya pun melangkah, mengikuti perintahnya.
Saya sempat menyapukan pandangan sekilas ke masjid. Tempat suci umat Islam ini menjadi kotor sekali. Gerombolan itu pasti memasuki masjid tanpa melepas alas kaki. Sepatu-sepatu dan sandal-sandal kotor, juga kaki telanjang yang kotor, menginjak kaki masjid seenaknya.
Kami digiring ke tanah lapang tidak jauh diluar masjid. “Mereka menyerbu dan menganiyaya jamaah Shalat Subuh, menendangi mereka dan menyeret mereka keluar masjid. Bahkan, beberapa anggota gerombolan mengobrak-abrik barang di masjid, melemparkan Al-quran dan kitab-kitab lain seenaknya ke lantai,” cerita teman saya yang ikut sembahyang Subuh di masjid.

Berpuluh-puluh warga kampong sudah dikumpulkan di sana. Seorang leleki muda berwajah bulat kuning, dengan mata dan pipi yang agak cekung, memanggil beberapa anggota gerombolan. Rupanya ia pimpinan mereka. Ia memberikan instruksi. “Pisahkan yang bukan peserta training. Wanita-wanita itu juga pisahkan di sana,” kata lelaki itu agak samar-samar kudengar.
Mereka lantas mengeluarkan orang-orang yang bukan peseta training, memisahkan mereka dari kami. Anak-anak putrid juga dipisahkan dari kami.
Ada sekitar 200 orang yang dikumpulkan oleh gerombolan itu, sedangkan jumlah massa pendukung mereka yang mengepung kami jumlahnya ribuan. Dalam keremangan udara pagi tampak wajah penduduk ketekutan. Mereka hanya bisa membisu ditengah massa pemberontak yang mengelilingi mereka dengan mata garang.
Lelaki itu kemudian mendekati seseorang bertubuh lebih kecil, berkulit kuning bersih, dan berkacamata, yang berdiri agak jauh dari kami. Mereka berbinccang-bincang sebentar, agaknya mendiskusikan sesuatu. Kemudian lelaki itu kembali kea rah kami. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi,memerintah kami untuk berbaris tiga-tiga memanjang ke belakang, dikelilingi masa BTI (Barisan Tani Indonesia, organisasi petani bikinan PKI) dan PKI.
Setelah barisan kami agak tertib, lelaki pimpinan gerombolan itu lantas berpidato, “Kawan-kawan, ini orang-orang yang kita tangkap adalah antek Nekolim. Mereka antek-antek Malaysia yang merampas sawah-sawah kita, kaum tani!”
Massa pun menyambut dengan gegap gempita, “Ganyang! Bunuh! Ganyang!” Suara mereka menggemuruh bagai badai.
“Orang-orang ini adalah Masyumi, DI/TII yang membunuh saudara-saudara kita di Madiun!” lelaki itu melanjutkan pidato agitatifnya. Massa pun serempak menyambut “Bunuh! Bunuh! Balas peristiwa Madiun! Utang darah harus dibayar darah. Utang nyawa harus dibayar nyawa!”
Lelaki itu meneruskan pidatonya, diselingi teriakkan yel-yel yang disambut teriakkan massa, “Hidup PKI! Hidup BTI! Hidup Pemuda Rakyat! Hidup kaum tani! Hidup rakyat!” Ia lantas member aba-aba: Majuuuu… majuuu! Jalannn! Jalannn!”
Saya amat takut. “Akan dibawa kemana,” piker saya. Saya ragu-rragu untuk melangkah. Begitu juga yang lain. Tapi puluhan anggota gerombolan bersenjata itu segera mendorong-dorong kami untuk maju dengan ujung senjata mereka. Tak ada pilhan lain, kami pun melangkah maju, dalam barisan tiga-tiga.
Kami digiring kea rah berlawanan dengan arah jalan yang biasa kami gunakan untuk keluar dari Kanigoro. Kami digiring makin masuk ke desa. Perasaan saya menjadi tidak menentu, cemas, ngeri, dan takut. Saya kira perasaan teman-teman yang lain juga begitu. Yah, siapa yang tidak cemas dalam keadaan yang serba tidak jelas dan penuh teror itu.
Sambil melangkah gontai, saya mencoba memusatkan perasaan dan pikiran saya. Dengan penuh perasaan saya pun berzikir kepada Allah. Dalam situasi yang serba tidak jelas dan dalam keadaan terancam seperti itu, saya piker zikir merupakan jalan terbaik untuk menenangkan diri. “Berzikirlah, agar tenang. Serahkan nasib kita pada Tuhan,” bisik saya pada teman di sebelah saya.
Tidak hanya berzikir. Saya pun bertahmid dan bertakbir, subhanallah wal khamdulillah walailaaha illallah, allahu akbar… Kami pun terus digiring, tanpa tahu akan dibawa ke mana, akan diapakan: dihabisi atau dibiarkan hidup disiksa. Saya yakin, mereka orang-orang PKI, orang-orang yang kejam dan tak berperi kemanusiaan. Ya, apa yang ada di otak orang-orang tak bertuhan tentang musuh-musuhnya, selain bernafsu mengganyang merdeka? “Ya, Allah, kami pasrah pada-Mu. Lindungilah kami dari kekejaman mereka,” tanpa sadar hati saya mengucap doa.
Cuaca makin terang dan kami terus digiring dengan ancaman senjata. Sinar matahari mulai menyentuh ufuk barat, puncak-puncak bukit dan ujung-ujung pepohonan. Kami mulai berkeringat karena berjalan cukup jauh. Kira-kira sudah empat kilometer jarak kam tempuh.
Kami melewati perempatan jalan di tengah sawah. Tampak petani-petani desa sedang menggarap sawah. Tanah desa kita dimana-mana tampak subur, tampak menjanjikan kemakmuran bagi penduduknya. Pantaslah, Belanda dulu bersihkukuh menjajah kita, menguasai tanah kita selama berabad-abad, menyeedot kekayaan kita. Kemudian disusul Jepang, bangsa mengaku “saudara tua”, tetapi tak lebih dari penjajahyang keji juga.
Kami pun sampai di depan rumah yang cukup besar di tepi jalan. Rumah yang dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi. Tiba-toba terdengar teriakkan perintah keras dari pemimpin gerombolan itu, “Berhentiii!”
Begitu kami berhenti, pimpinan gerombolan itu, yang kemudian kami ketahuai bernama Suryadi, meneriakkan perintah baru, “Semuannya menghadap temboookk!!”
Dengan perasaan makin was-was, tepatnya ketakutan, kami pun menghadap tembok panjang pagar rumah itu. Perasaan kami makin ngeri. Jangan-jangan kami benar-benar dieksekusi di tempat ini. Bukankah orang-orang yang biasanya  akan dieksekusi disuruh menghadap tembok dan kemudian ditembak dari belakang. “Ya Allah, apa yang akan mereka perbuat terhadap kami?”
Saya kira semuaanya sangat ketakutan saat itu. Bayangkan saja, kami tidak bersenjata dan tidak berdaya ketika itu. Sedang kan mereka bersenjata lengkap dan garang-garang. Beberapa teman kami menangis. Saya dengar dengan jelas suara tangis mereka. Ada juga yang sampai terjatuh. Yang pengecut mungkin sudah terkencing-kencing saat itu.

Sesaat kemudian terdengar suara Suryadi memanggil para petani yang sedang menggarap sawah untuk dating mendekat. Mereka berkumpul. Di hadapan mereka Suryadi kemblai berpidato dengan berapi-api dan penuh agitasi. Barisan BTI dan PKI menyambutnya dengan yel-yel yang amat keras: “Ganyang! Ganyaang! Bunuuuh! Bunuuuhh! Hidup Petani! Hidup PKI!”
Kami menanti dan menanti apa yang bakal terjadi. Kepala siapa yang akan pecah dulu terkena peluru PKI. Punggung siapa yang akan tertembus dahulu. Tubuh siapa yang bakal roboh dulu. Saya menanti dan menanti bagian tubuh mana yang akan teetembus peluru?!
Demi melawan ketakutan, saya pu n berzikir makin keras: Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah,  tiada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar…
Alhamdulillah, yang kami takutkan takterjadi. Suryadi memerintahkan kami untuk berjalan lagi. Kami menjadi tontonan para petani itu. Ada yang menonton kami sambil diam saja, ada yang berbisik pada temannya, ada yang tersenyum-senyum entah pikiran apa yang ada di kepala mereka. Kami makin bertanya-tanya, akan dibawa ke mana.
Di tengah perjalanan Suryadi mendekati saya. “Harap tenang. Jangan berbuat macam-macam. Tidak akan terjadi apa-apa,” katanya.
                “Akan dibawa ke mana?” Tanya saya
                “Ke kantor polisi Keras,” jawabnya. Ia lantas mendekati temannya yang berkacamata.
Saya lantas berusaha menenangkan teman-teman yang Nampak gelisah. Saya juga tetap memmasrahkan diri pada Tuhan. “Berzikirlah, agar perasaan kalian tenang. Pasrahlah pada Allah. Suryadi bilang, kita tidak akn diapa-apakan,” kata saya.
                “Apa benar?” Tanya teman saya tidak percaya.
                “Iya!” jawab saya. Percayalah pada saya. Pimpinan mereka, Suryadi tadi mengatakan pada saya bahwa kita hanya akan dibawa ke kantor polisi Keras. Dia member jaminan, kita tidak akan diapa-apakan, asal tidak macam-macam.”
                “Tapi, apa mereka bisa dipercaya? Mereka PKI, lho! Jangan lupakan itu! Merekalah yang melakukan teror di Madiun dulu. Banyak korban berjatuhan di sana. Bisa saja kita dibantai oleh mereka,” kawan saya masih tidak percayaa.
Kekhawatiran mereka memang beralasan. PKI-PKI itu membawa berbagai macam senjata. “Lihat senjata-senjata mereka seperti haus darah!’
                “Pasrah saja pada Tuhan. Berzikirlah!”
                Kami terus digiring dan digiring dalam ancaman senjata-senjata berkilatan: clurit, parang, pedang, kelewang, pisau potong dan beberapa pucuk bedil. Melihat kilatan senjata-senjata itu saya makin yakin , mereka tidak main- main. Akan ternuktikah ketakutan teman-teman saya, bahwa kami akan dibantai di suatu tempat? Saya berusaha menenangkan diri, tapi ketakutan masih merong-rong perasaan saya.
                “Ayoo! Jalan teruuss! Ceepat!” teriak seorang anggota gerombolan yang bertubuh agak kekar dan berewok. “Gedebruk!” ada teman saya yang jatuh. Untung teman yang di belakangnya cukup wasrada sehingga tak menginjaknya. Ia buru-buru bangkit dan berjalan lagi. Tapi beberapa teman sempat keluar dari barisan. Orang-orang PKI pun langsung mendorongnya masuk ke barisan lagi. “Jalan yang benar!” bentak seseorang.
Melewati beberapa insiden kecil, kami pun sampai di depan pasar desa. Di hadapan banyak orang. Suryadi berpidato lagi, penuh agitasi dan yel-yel. Bakul-bakul pasar, juga orang-orang yang akan dan habis berbelanja, semuanya mempethatikan Suryadi. Mereka juga mengamati kami dengan mata bertanya-tanya. Tapi tak ada yang bertanya. Sebagian hanya melongo atau saling bisik.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More