Kehusyukan yang Terganggu
Pagi itu, 13 Januari 1965 tepat pada awal Ramadhan 1385 H, udara Desa Kanigoro dingin sekali. Kabut tipis mengendap-endap di kaki bukit, mengentalkan embun di ujung dedaunan dan rerumputan. Di sebuah pesantren, di desa itu, di dalam wilayah Kecamatan Keras, Kediri, para peserta mental training Pelajar Islam Indonesia (PII) bersama beberapa warga masyarakat setempat sedang menjalankan shalat subuh di masjid.
Karena agak kelelahan, saya dan beberapa teman bersembahyang
di asrama. Dingin udara dan air wudlu yang menggigilkan tubuh tak mengurangi
kekhusyukan salat kami. Namun, tiba-tiba keheningan udara dipecahkan oleh suara
tembakan “dor! dor! dor!” Ketika saya sedang dalam posisi duduk tasyahud,
tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras. Pintu kamar saya didobrak, diiringi
teiakan-teriakan “Bunuuuh! Bunuuuh! Ganyanggg!”
Saya membaca shalawat dan salam.
Salatpun selesai, dan sebuah tendangan menghantam punggung saya. “Bangun, ayo!
Bangun!” Beberapa orang berpakaian lusuh dan bersenjata tajam menangkap saya.
Saya sempat melihat, salah seorang diantara merekan mengambil Al-Quran,
merobek-robeknya, membantingnya ke lantai, dan menginjak-injaknya sambil
berteriak, “Iki sing marakne gudiken!” (ini yang menyebabkan penyakit gudik,
Red.) Saya pun diseret ke luar ruangan.
Cuaca di luar masih remang-remang. Tampak massa begitu
banyak, senjata-snjata berkilatan di antara mereka. Sebagian di antara mereka
mengikat dan menggirin teman-teman saya sambil meneriakkan yel-yel “Bunuh!
Ganyang! Hidup PKI! Hidup BTI! Balas peristiwa Madiun! (Pemberontakan PKI
Madiun, 1948, Red.) Ganyang antek Nekolim! Ganyang antek Malaysia! Ganyang
santri!” dengan suara gegap gempita, menakutkan.
Sesaat kemudian terdengar suara “kumpul! Kumpul!” Kamipun
dikumpulkan di jalanan. Kedua tangan saya dipegang kuat-kuat dan senjata tajam
menempel di leher dan tubuh saya. Seseorang menggiring saya sambil berteriak
“Iki pimpinane!” (Ini pimpinannya). Lainnya pun menyahu, “Bunuh! Bunuh! Gorok!
Balas Madiun!”
Saya digiring dengan ujung pedang yang menempel di leher
saya, dingin sekali “Ayoi jalan!” bentak lelaki kurus yang menggiring saya.
Saya sempat meliriknya. Wajahnya tampak angker dalam keremangan pagi. Dengan
perasaan ngeri saya pun melangkah, mengikuti perintahnya.
Saya sempat menyapukan pandangan sekilas ke masjid. Tempat
suci umat Islam ini menjadi kotor sekali. Gerombolan itu pasti memasuki masjid
tanpa melepas alas kaki. Sepatu-sepatu dan sandal-sandal kotor, juga kaki
telanjang yang kotor, menginjak kaki masjid seenaknya.
Kami digiring ke tanah lapang
tidak jauh diluar masjid. “Mereka menyerbu dan menganiyaya jamaah Shalat Subuh,
menendangi mereka dan menyeret mereka keluar masjid. Bahkan, beberapa anggota
gerombolan mengobrak-abrik barang di masjid, melemparkan Al-quran dan
kitab-kitab lain seenaknya ke lantai,” cerita teman saya yang ikut sembahyang
Subuh di masjid.
Berpuluh-puluh warga kampong sudah dikumpulkan di sana.
Seorang leleki muda berwajah bulat kuning, dengan mata dan pipi yang agak
cekung, memanggil beberapa anggota gerombolan. Rupanya ia pimpinan mereka. Ia
memberikan instruksi. “Pisahkan yang bukan peserta training. Wanita-wanita itu
juga pisahkan di sana,” kata lelaki itu agak samar-samar kudengar.
Mereka lantas mengeluarkan orang-orang yang bukan peseta training,
memisahkan mereka dari kami. Anak-anak putrid juga dipisahkan dari kami.
Ada sekitar 200 orang yang dikumpulkan oleh gerombolan itu,
sedangkan jumlah massa pendukung mereka yang mengepung kami jumlahnya ribuan.
Dalam keremangan udara pagi tampak wajah penduduk ketekutan. Mereka hanya bisa
membisu ditengah massa pemberontak yang mengelilingi mereka dengan mata garang.
Lelaki itu kemudian mendekati seseorang bertubuh lebih
kecil, berkulit kuning bersih, dan berkacamata, yang berdiri agak jauh dari kami.
Mereka berbinccang-bincang sebentar, agaknya mendiskusikan sesuatu. Kemudian
lelaki itu kembali kea rah kami. Ia berdiri di tempat yang agak
tinggi,memerintah kami untuk berbaris tiga-tiga memanjang ke belakang,
dikelilingi masa BTI (Barisan Tani Indonesia, organisasi petani bikinan PKI)
dan PKI.
Setelah barisan kami agak tertib, lelaki pimpinan gerombolan
itu lantas berpidato, “Kawan-kawan, ini orang-orang yang kita tangkap adalah
antek Nekolim. Mereka antek-antek Malaysia yang merampas sawah-sawah kita, kaum
tani!”
Massa pun menyambut dengan gegap gempita, “Ganyang! Bunuh!
Ganyang!” Suara mereka menggemuruh bagai badai.
“Orang-orang ini adalah Masyumi, DI/TII yang membunuh
saudara-saudara kita di Madiun!” lelaki itu melanjutkan pidato agitatifnya.
Massa pun serempak menyambut “Bunuh! Bunuh! Balas peristiwa Madiun! Utang darah
harus dibayar darah. Utang nyawa harus dibayar nyawa!”
Lelaki itu meneruskan pidatonya, diselingi teriakkan yel-yel
yang disambut teriakkan massa, “Hidup PKI! Hidup BTI! Hidup Pemuda Rakyat!
Hidup kaum tani! Hidup rakyat!” Ia lantas member aba-aba: Majuuuu… majuuu!
Jalannn! Jalannn!”
Saya amat takut. “Akan dibawa kemana,” piker saya. Saya
ragu-rragu untuk melangkah. Begitu juga yang lain. Tapi puluhan anggota
gerombolan bersenjata itu segera mendorong-dorong kami untuk maju dengan ujung
senjata mereka. Tak ada pilhan lain, kami pun melangkah maju, dalam barisan
tiga-tiga.
Kami digiring kea rah berlawanan dengan arah jalan yang
biasa kami gunakan untuk keluar dari Kanigoro. Kami digiring makin masuk ke
desa. Perasaan saya menjadi tidak menentu, cemas, ngeri, dan takut. Saya kira
perasaan teman-teman yang lain juga begitu. Yah, siapa yang tidak cemas dalam
keadaan yang serba tidak jelas dan penuh teror itu.
Sambil melangkah gontai, saya mencoba memusatkan perasaan
dan pikiran saya. Dengan penuh perasaan saya pun berzikir kepada Allah. Dalam
situasi yang serba tidak jelas dan dalam keadaan terancam seperti itu, saya
piker zikir merupakan jalan terbaik untuk menenangkan diri. “Berzikirlah, agar
tenang. Serahkan nasib kita pada Tuhan,” bisik saya pada teman di sebelah saya.
Tidak hanya berzikir. Saya pun
bertahmid dan bertakbir, subhanallah wal khamdulillah walailaaha illallah,
allahu akbar… Kami pun terus digiring, tanpa tahu akan dibawa ke mana, akan
diapakan: dihabisi atau dibiarkan hidup disiksa. Saya yakin, mereka orang-orang
PKI, orang-orang yang kejam dan tak berperi kemanusiaan. Ya, apa yang ada di
otak orang-orang tak bertuhan tentang musuh-musuhnya, selain bernafsu
mengganyang merdeka? “Ya, Allah, kami pasrah pada-Mu. Lindungilah kami dari
kekejaman mereka,” tanpa sadar hati saya mengucap doa.
Cuaca makin terang dan kami terus digiring dengan ancaman
senjata. Sinar matahari mulai menyentuh ufuk barat, puncak-puncak bukit dan
ujung-ujung pepohonan. Kami mulai berkeringat karena berjalan cukup jauh.
Kira-kira sudah empat kilometer jarak kam tempuh.
Kami melewati perempatan jalan di tengah sawah. Tampak
petani-petani desa sedang menggarap sawah. Tanah desa kita dimana-mana tampak
subur, tampak menjanjikan kemakmuran bagi penduduknya. Pantaslah, Belanda dulu
bersihkukuh menjajah kita, menguasai tanah kita selama berabad-abad, menyeedot
kekayaan kita. Kemudian disusul Jepang, bangsa mengaku “saudara tua”, tetapi
tak lebih dari penjajahyang keji juga.
Kami pun sampai di depan rumah yang cukup besar di tepi
jalan. Rumah yang dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi. Tiba-toba
terdengar teriakkan perintah keras dari pemimpin gerombolan itu, “Berhentiii!”
Begitu kami berhenti, pimpinan gerombolan itu, yang kemudian
kami ketahuai bernama Suryadi, meneriakkan perintah baru, “Semuannya menghadap
temboookk!!”
Dengan perasaan makin was-was, tepatnya ketakutan, kami pun
menghadap tembok panjang pagar rumah itu. Perasaan kami makin ngeri. Jangan-jangan
kami benar-benar dieksekusi di tempat ini. Bukankah orang-orang yang
biasanya akan dieksekusi disuruh
menghadap tembok dan kemudian ditembak dari belakang. “Ya Allah, apa yang akan
mereka perbuat terhadap kami?”
Saya kira semuaanya sangat ketakutan
saat itu. Bayangkan saja, kami tidak bersenjata dan tidak berdaya ketika itu.
Sedang kan mereka bersenjata lengkap dan garang-garang. Beberapa teman kami
menangis. Saya dengar dengan jelas suara tangis mereka. Ada juga yang sampai
terjatuh. Yang pengecut mungkin sudah terkencing-kencing saat itu.
Sesaat kemudian terdengar suara Suryadi memanggil para
petani yang sedang menggarap sawah untuk dating mendekat. Mereka berkumpul. Di
hadapan mereka Suryadi kemblai berpidato dengan berapi-api dan penuh agitasi.
Barisan BTI dan PKI menyambutnya dengan yel-yel yang amat keras: “Ganyang!
Ganyaang! Bunuuuh! Bunuuuhh! Hidup Petani! Hidup PKI!”
Kami menanti dan menanti apa yang bakal terjadi. Kepala
siapa yang akan pecah dulu terkena peluru PKI. Punggung siapa yang akan
tertembus dahulu. Tubuh siapa yang bakal roboh dulu. Saya menanti dan menanti
bagian tubuh mana yang akan teetembus peluru?!
Demi melawan ketakutan, saya pu n berzikir makin keras:
Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah,
tiada Tuhan selain Allah, Allah Mahabesar…
Alhamdulillah, yang kami takutkan takterjadi. Suryadi
memerintahkan kami untuk berjalan lagi. Kami menjadi tontonan para petani itu.
Ada yang menonton kami sambil diam saja, ada yang berbisik pada temannya, ada
yang tersenyum-senyum entah pikiran apa yang ada di kepala mereka. Kami makin
bertanya-tanya, akan dibawa ke mana.
Di tengah perjalanan Suryadi mendekati saya. “Harap tenang.
Jangan berbuat macam-macam. Tidak akan terjadi apa-apa,” katanya.
“Akan
dibawa ke mana?” Tanya saya
“Ke kantor
polisi Keras,” jawabnya. Ia lantas mendekati temannya yang berkacamata.
Saya lantas berusaha menenangkan teman-teman yang Nampak
gelisah. Saya juga tetap memmasrahkan diri pada Tuhan. “Berzikirlah, agar
perasaan kalian tenang. Pasrahlah pada Allah. Suryadi bilang, kita tidak akn
diapa-apakan,” kata saya.
“Apa
benar?” Tanya teman saya tidak percaya.
“Iya!”
jawab saya. Percayalah pada saya. Pimpinan mereka, Suryadi tadi mengatakan pada
saya bahwa kita hanya akan dibawa ke kantor polisi Keras. Dia member jaminan,
kita tidak akan diapa-apakan, asal tidak macam-macam.”
“Tapi,
apa mereka bisa dipercaya? Mereka PKI, lho! Jangan lupakan itu! Merekalah yang
melakukan teror di Madiun dulu. Banyak korban berjatuhan di sana. Bisa saja
kita dibantai oleh mereka,” kawan saya masih tidak percayaa.
Kekhawatiran mereka memang beralasan. PKI-PKI itu membawa
berbagai macam senjata. “Lihat senjata-senjata mereka seperti haus darah!’
“Pasrah
saja pada Tuhan. Berzikirlah!”
Kami
terus digiring dan digiring dalam ancaman senjata-senjata berkilatan: clurit,
parang, pedang, kelewang, pisau potong dan beberapa pucuk bedil. Melihat
kilatan senjata-senjata itu saya makin yakin , mereka tidak main- main. Akan
ternuktikah ketakutan teman-teman saya, bahwa kami akan dibantai di suatu
tempat? Saya berusaha menenangkan diri, tapi ketakutan masih merong-rong
perasaan saya.
“Ayoo!
Jalan teruuss! Ceepat!” teriak seorang anggota gerombolan yang bertubuh agak
kekar dan berewok. “Gedebruk!” ada teman saya yang jatuh. Untung teman yang di
belakangnya cukup wasrada sehingga tak menginjaknya. Ia buru-buru bangkit dan
berjalan lagi. Tapi beberapa teman sempat keluar dari barisan. Orang-orang PKI
pun langsung mendorongnya masuk ke barisan lagi. “Jalan yang benar!” bentak
seseorang.
Melewati beberapa insiden kecil, kami pun sampai di depan
pasar desa. Di hadapan banyak orang. Suryadi berpidato lagi, penuh agitasi dan
yel-yel. Bakul-bakul pasar, juga orang-orang yang akan dan habis berbelanja,
semuanya mempethatikan Suryadi. Mereka juga mengamati kami dengan mata
bertanya-tanya. Tapi tak ada yang bertanya. Sebagian hanya melongo atau saling
bisik.